PACARAN KARNA DI BULLY - CERITA IBNU

Thursday 2 April 2020

PACARAN KARNA DI BULLY


"kita kan pacaran nih, ya... tapi kamu kok gak pernah ngapelin aku, sih"
"Loh.. ngapelin gimana, kan tiap hari kita udah ketemu"
---

~Apa kabar teman-teman...
Tidak sedang lagi demam, batuk-batuk atau tenggoroan kering, kan?
Kalaupun iya semoga itu bukan corona ya! hehehe


Tak di TV, surat kabar, sosmed, gibahan tetangga, semua pada bahas Covid 19 ini (Corona Virus Disease 2019). Dan semua kena dampaknya, baik pelajar sampai perekonomian masyarakat.

Bagi kami masyarakat yang hidup di Desa, Corona mah cuma di jadikan isu belaka. "Ngapain kita takut sama Corona, kematian itu sudah di atur Tuhan." Sangat memegang teguh sila ke satu, kan.


Apalagi bagi para petani, peternak atau kulibangunan... "Nuruti Corona tolos ndak badok" (nurutin Corona, gak makan kita)
Kalau saya... 'Corona, bodo amat!'
Otakku sudah penuh dengan urusan yang lain. Apalagi ada kata rindu, aduh...!


~Rindu pada setiap orang memiliki makna yang berbeda-beda. Ada yang menyenangkan, ada yang berat, ada pula yang mengecewakan.
Tapi rindu yang datang padaku kali ini, memiliki makna yang membingungkan.
Sekarang aku tanya pada kalian... pernah gak sih kalian rindu tapi tidak tau kepada siapa atau untuk siapa?
Mungkin itu yang saat ini aku rasa. Apakah itu untuk kawan lama, profesi lama, atau kekasih lama? Atau bisa jadi semuanya?


Berbicara soal kawan lama... dulu aku pernah berebut wanita dengan kawan sebangku kelasku.
Kejadianya pada saat aku duduk di kelas SMA.


Ceritanya waktu itu aku jomblo dan jadi bahan bully teman-teman sekelas. Yang di bilang gak normal lah, gak laku lah. Padahal kan bukan gitu. Cuma belum ada yang mau aja sama aku.
Bully yang kejam!


Karna hal itu, lalu aku di jodoh-jodohin gitu sama dia (kawan sebangku aku) dengan salah satu teman cewekku yang juga satu kelas. Dia bilang, katakanlah nama ceweknya Jeni. "Eh, kayaknya si Jeni suka sama kamu,deh" celetuk dia pas lagi jam pelajaran.
"Apaan, sih" jawabku sewot.
"Serius!"
Aku hanya meliriknya sambil mengangkat sebelah alisku.
"Iya...! Dari cara dia ngomong sama kamu, cari-cari perhatian buat ngajak kamu bercanda... itu tandanya dia suka sama kamu."
"Ah, sok tau kamu" tanggapku sinis,
"Yee, dibilangin gak percaya. Coba, deh kamu tembak dia, pasti mau! Berani jamin, deh."


Nah... Sejak saat itu, tiap hari di sekolah aku di gojlokin terus-terusan sama si kampret itu, kemudian yang lain jadi ikut-ikutan.
Lama kelamaan juga bikin Bete, sih. Karna kejadian itu, akhirnya aku bilang sama kawanku itu,

"oke, nanti sepulang sekolah aku bakalan nembak dia, puas!!!"
"Serius?" Jawab dia dengan takjub.


~Kacaunya, setelah itu dia malah nyebarin ke teman-teman yang lain atas rencanaku itu. Abis dah aku... sekelas jadi tau termasuk si Jeni. Kampret emang tuh orang.
Mau di lakuin itu malu, gak dilakuin tambah malu, jadi serba salah dah.

Akhirnya waktu pulang sekolah tiba. Bel tanda bubar terdengar nyaring di setiap ruang kelas. Bel itu juga seketika membuat degup jantungku berdetak semakin kencang, mengundang gerogi, sekaligus malu. Tapi mau tidak mau harus aku lakukan.

Satu persatu dari mereka meninggalkan kelas, dan aku masih duduk anteng menunggu waktu yang pas.
"Oke, good luck ya, aku cabut dulu" kata si kampret yang duduk di sebelahku. Lalu ia pergi.


Dan si Jeni... entah sengaja atau bagaimana, dia baru berdiri dari bangkunya setelah kelas mulai agak sepi, dan berjalan menuju pintu bak sinden jawa yang masih menggunakan kebaya dengan sewek lilitnya. Pelan sekali. Kemudian dia menoleh ke arahku yang masih duduk mematung, sembari mengatakan... "aku pulang dulu, ya!"
Seketika aku berdiri melangkah cepat ke arahnya. Mencegah langkah kakinya dengan mengambil tangan Jeni, dan berkata... "tunggu dulu, aku ingin bicara"
"Ada apa?" Sautnya cepat.
Kemudian aku tarik dia menuju bangku paling pojok belakang, menyuruhnya duduk agar mendengarkan apa yang akan aku utarakan.


"Ada apa,sih... kok kamu aneh gini?" Aku yakin itu pertanyaan basa-basi, sekaligus pura-pura tidak tau. Di kelas sudah tinggal kami berdua, di pojokan, Jeninya duduk menyandar tembok dan aku berdiri di depannya.
"Eee... jadi gini, Jen..." bibirku gemetar, otaku buntu dan bingung harus mulai dari mana. Inikah rasanya gerogi? Setelah mondar-mandir beberapa kali, aku memilih ngomong sama Jeni sambil duduk tepat di depannya.
Aku melirik kedua tangannya yang kosong, sontak aku langsung memegangnya dan mulai berucap...
"Jeni... aku mau ngomong... aku suka sama kamu... kamu mau gak jadi pacar aku...?" Dengan pelan dan terbata-bata akhirnya terucap.
"Ha... Serius?" Saut Jeni yang penuh ketidak percayaan.
"He'em" aku menganggukan kepala untuk meyakinkan dia.
"Bentar-bentar... kenapa kamu suka sama aku? Alasannya apa?"
"Ya gak tau! Rasa itu tumbuh dengan sendirinya dan menyuruhku untuk mengungkapkannya padamu"


Jeni cuma senyum dengan kedua matanya yang menatapku.

"Iya, deh!" Katanya kemudian
"Iya,deh? Maksutnya?"
"Ya itu yang kata kamu tadi,"
"Jadi, mulai sekarang kita jadian, nih..."
"He'em" kepalanya mengangguk manja gitu, Guys.


Mulai saat itu aku resmi jadian sama Jeni. Pas diterima, rasanya seneng, sih. Dan ada rasa aneh juga. Tapi yang terpenting keesokan harinya aku bebas dari bully teman-teman sekelas, terutama dari si kampret yang setiap hari masuk sekolah duduk di sebelahku.

~Empat hari jadian, kami jadi sering SMS-an, telponan setiap malam. Maklum jaman itu masih trend-nya handpone Nokia yang cuma bisa di pakai telpon dan sms. Jadi kami dulu tidak pusing buat beli paket data. Palingan juga pulsa, sih. Beli pulsa dua ribu juga dapet kalau dulu. Itupun sudah bisa buat telpon dan sms-an sepuasnya.


Suatu hari Jeni nyamperin aku pas jam istirahat sekolah. Dia bilang, "kita kan pacaran nih, ya... tapi kamu kok gak pernah ngapelin aku, sih"
"Loh.. ngapelin gimana, kan tiap hari kita udah ketemu"
"Maksutku, masak kamu gak bisa perhatian atau nglakuin hal yang menyenangkan yang bisa kita lakuin berdua, gitu"
"Ya gimana... bukannya kita tiap hari bisa ketemu udah menyenangkan,"
"Ih, kamu ini gimana,sih... au ah" dia pun ngloyong pergi dari hadapanku dengan muka cemberutnya.
Ya mau gimana? Pacaran satu kelas itu rasanya canggung banget, asli.


Setelah kejadian itu. Sms-an kami gak selancar hari-hari biasanya. Telponan juga bentar. Gak kayak kemarin-kemarin yang sampai empat jam telponan mulu. Kuping itu sampe panas rasanya. Tapi hari itu, jangankan panas hangat saja tidak.



Seminggu berlalu kami pacaran. Dan hari minggu adalah alasan kami untuk tidak bertemu. Keesokan harinya aku tidak masuk sekolah. Dua hari aku izin karna sakit. Dan pada saat itu juga aku di putusin oleh Jeni lewat SMS. Entah... Mungkin dia sudah bosan?


Hari rabu aku mulai masuk kembali. Dan hari itu juga aku dengar kabar bahwa Jeni udah pacaran lagi. Sama siapa? Sama si kampret kawanku itu. Sama orang yang awalnya jodoh-jodohin aku gak taunya dia sendiri yang sebenarnya ingin pacaran sama Jeni. Mungkin itu pertama kalinya aku sakit hati. Di sakitin dua orang sekaligus lagi.
Si Jeni dan si kampret yang sudah aku anggap sebagai sahabat. Itu titik awal aku tidak pernah percaya akan hubungan pertemanan baik yang berbau sahabat. Semua sama... jangan terlalu baik dan jangan terlalu percaya sama orang. Itu kunci mengantisipasi kecewa yang berlebihan. Menurutku!

---
》》
》》》
-
"Gambar cuma pemanis. Mereka memang kawan sekolahku, hanya saja dia bukan Jeni ataupun si kampret yang saya sebut-sebut dalam cerita di atas. :) Thank's sudah membaca."

No comments:

Post a Comment