Aku ingin ayah merindukanku
Kali ini saya
bercerita tentang seorang pemuda yang tercipta sebagai hamba penyabar. Ia
percaya bahwa Tuhan tak pernah salah akan takdir yang Ia berikan kepada hamba-hambaNya.
Pemuda ini terlahir
dari keluarga yang penuh cerita dan derita, katakanlah namanya Zafran.
Entah kenapa apapun
yang Zafran kerjakan dan apapun yang Zafran putuskan itu semua salah di mata
ayahnya. Ia selalu di cemo’oh, hidupnya di penuhi kata goblok, dari kecil ia
sudah terbiasa dengan kata kata kasar. Anjing, bangsat, goblok, tai dan semua
kerabat kerabatnya. Dari kecil ia sudah di buat makan hati oleh orang
tuanya. Terkadang dia berfikir untuk memilih mati saja, antara Zafran yang mati
atau Ayahnya.
Namun hal itu tidak pernah dia lakukan. Dia masih
bisa berfikir dua kali, antara sebab dan akibatnya. Jadi ia lebih berfikir
positif bagaimana caranya agar orang tuanya itu sadar bahwa, “Aku Zafran anakmu,
akan membuktikan kepadamu Ayah, bahwa aku bisa hidup sendiri dari keringatku
sendiri dan akan membuatmu bangga kepadaku”. Ia berusaha bagaimana menjadi
seseorang yang sukses. bukan kaya, tapi sukses. Sukses membahagiakan diri
sendiri, sukses membahagiakan orang lain dan yang paling penting sukses
membanggakan orang tuanya.
Suatu ketika setelah ia lulus dari sekolah SMAnya,
dia sengaja tidak melanjutkan untuk kuliah, meski sebenarnya orang tuanya mampu
untuk menguliahkannya. Dia sudah malu menjadi anak yang terus membebani
orang tuanya. Dia mempunyai niat kalau ia ingin merantau. Ia juga ingin
membuktikan kepada orang tuanya khususnya kepada sang ayah bahwa seorang Zafran
bisa hidup mandiri, bisa menjadi seseorang yang makan minum dengan keringat dan
jerih payahnya sendiri.
Lalu ia mulai berpamitan kepada kedua orang tuanya, “Ayah ibu aku berangkat
dulu! Doakan anakmu ini selamat, sehat selalu dan tetap dalam lindungan Allah.”
Ia jabat tangan kedua orang tuanya dan menciumnya. Ibupun membalas dengan
rintihan air mata sembari berkata, “pergilah engkau dengan langkahan basmalah.
Dan percayalah, ibumu di sini tidak pernah bosan meminta kepada tuhan atas niat
dan impianmu.” Zafranpun pergi dengan di antarkan pamannya ke pulau Bali.
Sesampainya di Bali. Paman mengantarkan Zafran ke tempat tinggal adiknya
yang kebetulan sudah lama bekerja di sana. Bertanyalah tentang pekerjaan. “apa
kamu mau bekerja di toko? sebuah mini market milik bos saya” jelasnya adik
paman kepada Zafran. Dengan senang hati ia menerima tawaran itu. Lalu ke esokan
harinya ia di antarkan ke tempat yang di maksut. Sementara pamannya segera
pamit untuk kembali pulang ke jawa. Dan mulai ke esokan harinya Zafran langsung
di suruh bekerja, namun penempatannya cukup jauh dari tempat tinggal kakak iparnya
itu, bahkan beda Kabupaten.
Ia memutuskan untuk ngekost sendiri, dan di situlah seorang Zafran mulai
mempelajari bagaimana hidup mandiri dan bertemu pintu kebebasan. “
Zafran, selamat datang di surga dunia dan selamat datang di dunia
kebebasan”. Teriakan semangat dari sang Zafran dengan senyuman kebebasan dan
kebahagiaan. Dengan kebahagiaan itu ia langsung membereskan barang-barangnya
dan segera untuk tidur. Besok ia harus bangun pagi, karna besok hari pertamanya
bekerja. Pukul 16.00, yang artinya jam kerjanya sudah selesai. Iapun segera
untuk kembali ke tempat kosnya. Bukannya istirahat, ia malah langsung menuju ke
pantai untuk memperkenalkan dirinya kepada alam. “Selamat datang surgaku! aku
di sini Zafran, untuk datang menyapamu. Terimakasih atas sambutan suara ombakmu
itu, dan bali! Kenalkan aku arti sebuah kehidupan” Pekiknya dengan lantang
sembari menatap ke laut dengan kaki yang di basahi oleh gulungan ombak yang
indah.
Waktu demi waktu
berjalan. masak sendiri , cuci baju sendiri semuanya serba sendiri . Itu
pengalaman pertamakali yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Tapi di balik
itu semua ia senang dan bangga sudah bisa merasakan semua hal itu.
Sudah 6 bulan ia tidak pulang ke rumah. Tidak bertemu ibu dan ayahnya,
bahkan ia hampir lupa akan keluarganya. Karna jarang sekali Zafran menelpon
kerabat-kerabatnya di Jawa, bahkan tidak pernah. Jangankan itu, ibu dan
ayahnyapun jarang sekali ia telepon.
Suatu ketika ia mulai kepikiran kedua orang tuanya. Di setiap do’a
sholatnya ia menangis, mengatakan kepada yang Esa, “ya Allah, aku rindu kepada
ayah dan ibuku, aku rindu akan omelan mereka berdua, (tetes demi tetes air mata
membasahi pipinya), ya Allah, aku sadar akan kebodohanku yang telah aku perbuat
kepadanya, dan aku sadar akan kata-kata kasar dari seorang ayahku, maafkan aku
atas kezoliman ini kepadanya, dan aku mohon kepadamu tuhan, jagakanlah mereka
demi aku anaknya”. Bercucuran air matanya di setiap doa sholatnya. Ayah
yang selalu ia benci ketika bersama di rumahnya, namun sosok ayah itu juga yang
paling ia rindukan ketika jauh darinya.
Delapan bulan berlalu, sekarang ia menikmati bulan
Ramadhan di Bali. jauh dari orang-orang yang ia cintai. Ramadhan semakin
membuatnya rindu kepada keluarga, dan ia tidak sabar menunggu lebaran untuk
mengambil cuti dan pulang untuk melepas rindu kepada ibu dan ayahnya.
Ketika hari yang ia tunggu-tunggu mulai tiba,
segeralah ia pulang dengan membawa rasa rindu yang amat dalam. Sembilan jam
yang ia butuhkan untuk sampai di rumah. Sinar lampu rumahpun mulai terlihat,
seakan-akan sinaran itu berkata, “selamat datang kembali Zafran.” Aku berdiri
di depan pintu dan mulai mengetuknya, “Assalamualaikum” lalu terjawab
“waalaikum salam.” Suara itu akhirnya terdengar kembali di telingaku. Pintu
mulai terbuka, “anakku! Akhirnya engkau pulang juga nak!” dengan cekatan ibu
langsung memelukku dengan deraian air matanya. Begitu di lepas, aku jabat dan cium
tangannya. Lalu di susul ayah di belakang ibu dengan mimik muka yang datar, dan
tidak terlihat sama sekali wajah yang menggambarkan kerinduan seorang ayah
kepada anaknya. Ku jabat cium pula tangannya.
Suara takbir di
kumandangkan. Sholat Idul Fitri di pagi hari. Sepulang dari masjid saatnya bermaaf-maafan
antar keluarga dan saudara sesuai tradisi yang sudah berjalan turun-menurun
dari nenek moyang. Sendal ku lepas, pintu ku buka dan di situ sudah berdiri
kedua orang tuaku. Ku jabat cium dulu tangan dari ayahku, ku keluarkan
rasa penyesalanku, ku katakan atas semua kesalahanku dan ku curahkan
kerinduanku di pelukannya.
“ayah! Maafkan anakmu yang berdosa ini, maafkan aku yang tak pernah
bisa membanggakanmu, maafkan aku juga yang selalu membuatmu marah. Engkau tetaplah
ayahku yang paling aku sayangi". ku banjiri kedua pipiku dan ku basahi
baju ayahku dengan air mata penyesalan dan kerinduan. “Anakku! Maafkan ayahmu
juga yang terlalu keras mendidikmu. Namun percayalah, di lubuk hatiku yang
terdalam engkau tetap anakku yang selalu ayah sayangi” jawab ayah yang juga
tidak bisa lagi menahan bendungan air matanya. Kemudian Zafran menghampiri
ibunya untuk mengatakan hal yang sama atas dosa-dosa yang telah di perbuat.
Seorang Zafran
merasa lega atas apa yang ia rasakan. Uneg-uneg yang di pendam sudah ia katakan
dan terobati oleh kedua orang tuanya. Satu minggu di rumah, sungguh waktu yang
sangat sedikit, serasa ia tidak ingin kembali ke pulau Bali. Tetapi kerabat kerjanya
di sana menghubungi Zafran secara terus-menerus untuk segera kembali bekerja.
Keesokan harinya ia kembali berpamitan kepada kedua orang tunya untuk pergi
lagi. “Biar ayah antarkan kamu sampai terminal.” Kata ayah kepadaku. Sesampainya
di terminal, “Ayah! Aku pergi dulu” serontak ayah memeluk dan menciumku. Jelas
hal itu membuatku terhenyak dan tertegun. “Hati-hati ya nak!” katanya dengan
lembut.
Pelukan dan ciuman
ayah yang lama sekali seorang Zafran inginkan, bahkan ia tidak ingat dimana dan
kapan terakhir kali ayahnya memeluk dan menciumnya seperti kejadian di terminal
itu.
“Atau mungkin itu pelukan dan ciuman pertama dari ayah kepadaku?” pikirnya
yang masih heran. Sungguh, baru saat itulah aku merasa bahwa aku benar-benar mempunyai
ayah. “Ayah, ini yang aku inginkan darimu, kelembutan dan perasaan sayangmu
yang aku inginkan dan selalu aku rindukan” suara hati zafran. End …..
Entah mengapa kisah ini ingin saya tulis. Yang tidak
sengaja terlintas begitu saja di pikiran saya. Kata demi kata terukir secara
tiba-tiba dari sebuah imajinasi yang nyata.
Yang saya pelajari
dari seorang Zafran dan kisahnya;Sejelek-jeleknya
orang tua kita, separah parahnya orang tua kita, dia tetap orang yang mesti
kita hormati. Karna tanpa mereka kita bukan siapa-siapa dan tidak akan jadi
apa-apa. Walaupun mereka sosok orang yang galak, pemarah, cerewet, bahkan keras
kepala, di satu sisi dia tetap sayang sama anaknya, yang berbeda itu hanya cara
mereka menyayangi kita.
Baca juga cerita dan berita lainnya;
Ok lah semua,
terima kasih banyak atas kunjungan di CERITA IBNU kali ini. Ikuti terus
cerita-cerita terupdate-nya. Dan
apresiasi penulis dengan share atau
komentar yang positif dari Anda di bawah
sana. See you...
No comments:
Post a Comment