Cerita Tentang Ayah - CERITA IBNU

Sunday, 19 June 2016

Cerita Tentang Ayah

Aku ingin ayah merindukanku

Kali ini saya bercerita tentang seorang pemuda yang tercipta sebagai hamba penyabar. Ia percaya bahwa Tuhan tak pernah salah akan takdir yang Ia berikan kepada hamba-hambaNya.

Pemuda ini terlahir dari keluarga yang penuh cerita dan derita, katakanlah namanya Zafran.
Entah kenapa apapun yang Zafran kerjakan dan apapun yang Zafran putuskan itu semua salah di mata ayahnya. Ia selalu di cemo’oh, hidupnya di penuhi kata goblok, dari kecil ia sudah terbiasa dengan kata kata kasar. Anjing, bangsat, goblok, tai dan semua kerabat kerabatnya. Dari  kecil ia sudah di buat makan hati oleh orang tuanya. Terkadang dia berfikir untuk memilih mati saja, antara Zafran yang mati atau Ayahnya.

Namun hal itu tidak pernah dia lakukan. Dia masih bisa berfikir dua kali, antara sebab dan akibatnya. Jadi ia lebih berfikir positif bagaimana caranya agar orang tuanya itu sadar bahwa, “Aku Zafran anakmu, akan membuktikan kepadamu Ayah, bahwa aku bisa hidup sendiri dari keringatku sendiri dan akan membuatmu bangga kepadaku”. Ia berusaha bagaimana menjadi seseorang yang sukses. bukan kaya, tapi sukses. Sukses membahagiakan diri sendiri, sukses membahagiakan orang lain dan yang paling penting sukses membanggakan orang tuanya.

Suatu ketika setelah ia lulus dari sekolah SMAnya, dia sengaja tidak melanjutkan untuk kuliah, meski sebenarnya orang tuanya mampu untuk menguliahkannya. Dia sudah malu menjadi anak yang terus membebani  orang tuanya. Dia mempunyai niat kalau ia ingin merantau. Ia juga ingin membuktikan kepada orang tuanya khususnya kepada sang ayah bahwa seorang Zafran bisa hidup mandiri, bisa menjadi seseorang yang makan minum dengan keringat dan jerih payahnya sendiri.
Lalu ia mulai berpamitan kepada kedua orang tuanya, “Ayah ibu aku berangkat dulu! Doakan anakmu ini selamat, sehat selalu dan tetap dalam lindungan Allah.” Ia jabat tangan kedua orang tuanya dan menciumnya. Ibupun membalas dengan rintihan air mata sembari berkata, “pergilah engkau dengan langkahan basmalah. Dan percayalah, ibumu di sini tidak pernah bosan meminta kepada tuhan atas niat dan impianmu.” Zafranpun  pergi dengan di antarkan pamannya ke pulau Bali.

Sesampainya di Bali. Paman mengantarkan Zafran ke tempat tinggal adiknya yang kebetulan sudah lama bekerja di sana. Bertanyalah tentang pekerjaan. “apa kamu mau bekerja di toko? sebuah mini market milik bos saya” jelasnya adik paman kepada Zafran. Dengan senang hati ia menerima tawaran itu. Lalu ke esokan harinya ia di antarkan ke tempat yang di maksut. Sementara pamannya segera pamit untuk kembali pulang ke jawa. Dan mulai ke esokan harinya Zafran langsung di suruh bekerja, namun penempatannya cukup jauh dari tempat tinggal kakak iparnya itu, bahkan beda Kabupaten.

Ia memutuskan untuk ngekost sendiri, dan di situlah seorang Zafran mulai mempelajari  bagaimana hidup mandiri dan bertemu pintu kebebasan. “ Zafran,  selamat datang di surga dunia dan selamat datang di dunia kebebasan”. Teriakan semangat dari sang Zafran dengan senyuman kebebasan dan kebahagiaan.  Dengan kebahagiaan itu ia langsung membereskan barang-barangnya dan segera untuk tidur. Besok ia harus bangun pagi, karna besok hari pertamanya bekerja. Pukul 16.00, yang artinya jam kerjanya sudah selesai. Iapun segera untuk kembali ke tempat kosnya. Bukannya istirahat, ia malah langsung menuju ke pantai untuk memperkenalkan dirinya kepada alam. “Selamat datang surgaku! aku di sini Zafran, untuk datang menyapamu. Terimakasih atas sambutan suara ombakmu itu, dan bali! Kenalkan aku arti sebuah kehidupan” Pekiknya dengan lantang sembari menatap ke laut dengan kaki yang di basahi oleh gulungan ombak yang indah.

Waktu demi waktu berjalan. masak sendiri , cuci baju sendiri semuanya serba sendiri . Itu pengalaman pertamakali yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Tapi di balik itu semua ia senang dan bangga sudah bisa merasakan semua hal itu.
Sudah 6 bulan ia tidak pulang ke rumah. Tidak bertemu ibu dan ayahnya, bahkan ia hampir lupa akan keluarganya. Karna jarang sekali Zafran menelpon kerabat-kerabatnya di Jawa, bahkan tidak pernah. Jangankan itu, ibu dan ayahnyapun jarang sekali ia telepon.  
Suatu ketika ia mulai kepikiran kedua orang tuanya. Di setiap do’a sholatnya ia menangis, mengatakan kepada yang Esa, “ya Allah, aku rindu kepada ayah dan ibuku, aku rindu akan omelan mereka berdua, (tetes demi tetes air mata membasahi pipinya), ya Allah, aku sadar akan kebodohanku yang telah aku perbuat kepadanya, dan aku sadar akan kata-kata kasar dari seorang ayahku, maafkan aku atas kezoliman ini kepadanya, dan aku mohon kepadamu tuhan, jagakanlah mereka demi aku anaknya”. Bercucuran air matanya di setiap doa sholatnya.  Ayah yang selalu ia benci ketika bersama di rumahnya, namun sosok ayah itu juga yang paling ia rindukan ketika jauh darinya.



Delapan bulan berlalu, sekarang ia menikmati bulan Ramadhan di Bali. jauh dari orang-orang yang ia cintai. Ramadhan semakin membuatnya rindu kepada keluarga, dan ia tidak sabar menunggu lebaran untuk mengambil cuti dan pulang untuk melepas rindu kepada ibu dan ayahnya.
Ketika hari yang ia tunggu-tunggu mulai tiba, segeralah ia pulang dengan membawa rasa rindu yang amat dalam. Sembilan jam yang ia butuhkan untuk sampai di rumah. Sinar lampu rumahpun mulai terlihat, seakan-akan sinaran itu berkata, “selamat datang kembali Zafran.” Aku berdiri di depan pintu dan mulai mengetuknya, “Assalamualaikum” lalu terjawab “waalaikum salam.” Suara itu akhirnya terdengar kembali di telingaku. Pintu mulai terbuka, “anakku! Akhirnya engkau pulang juga nak!” dengan cekatan ibu langsung memelukku dengan deraian air matanya. Begitu di lepas, aku jabat dan cium tangannya. Lalu di susul ayah di belakang ibu dengan mimik muka yang datar, dan tidak terlihat sama sekali wajah yang menggambarkan kerinduan seorang ayah kepada anaknya. Ku jabat cium pula tangannya.
Suara takbir di kumandangkan. Sholat Idul Fitri di pagi hari. Sepulang dari masjid saatnya bermaaf-maafan antar keluarga dan saudara sesuai tradisi yang sudah berjalan turun-menurun dari nenek moyang. Sendal ku lepas, pintu ku buka dan di situ sudah berdiri kedua orang tuaku. Ku jabat cium dulu tangan dari ayahku,  ku keluarkan rasa penyesalanku, ku katakan atas semua kesalahanku dan ku curahkan kerinduanku di pelukannya.
“ayah!  Maafkan anakmu yang berdosa ini, maafkan aku yang tak pernah bisa membanggakanmu, maafkan aku juga yang selalu membuatmu marah. Engkau tetaplah ayahku yang paling aku sayangi". ku banjiri kedua pipiku dan ku basahi baju ayahku dengan air mata penyesalan dan kerinduan.  “Anakku! Maafkan ayahmu juga yang terlalu keras mendidikmu. Namun percayalah, di lubuk hatiku yang terdalam engkau tetap anakku yang selalu ayah sayangi” jawab ayah yang juga tidak bisa lagi menahan bendungan air matanya. Kemudian Zafran menghampiri ibunya untuk mengatakan hal yang sama atas dosa-dosa yang telah di perbuat.
Seorang Zafran merasa lega atas apa yang ia rasakan. Uneg-uneg yang di pendam sudah ia katakan dan terobati oleh kedua orang tuanya. Satu minggu di rumah, sungguh waktu yang sangat sedikit, serasa ia tidak ingin kembali ke pulau Bali. Tetapi kerabat kerjanya di sana menghubungi Zafran secara terus-menerus untuk segera kembali bekerja. Keesokan harinya ia kembali berpamitan kepada kedua orang tunya untuk pergi lagi. “Biar ayah antarkan kamu sampai terminal.” Kata ayah kepadaku.  Sesampainya di terminal, “Ayah! Aku pergi dulu” serontak ayah memeluk dan menciumku. Jelas hal itu membuatku terhenyak dan tertegun. “Hati-hati ya nak!” katanya dengan lembut.
Pelukan dan ciuman ayah yang lama sekali seorang Zafran inginkan, bahkan ia tidak ingat dimana dan kapan terakhir kali ayahnya memeluk dan menciumnya seperti kejadian di terminal itu.
“Atau mungkin itu pelukan dan ciuman pertama dari ayah kepadaku?” pikirnya yang masih heran. Sungguh, baru saat itulah aku merasa bahwa aku benar-benar mempunyai ayah. “Ayah, ini yang aku inginkan darimu, kelembutan dan perasaan sayangmu yang aku inginkan dan selalu aku rindukan” suara hati zafran. End …..
Entah mengapa kisah ini ingin saya tulis. Yang tidak sengaja terlintas begitu saja di pikiran saya. Kata demi kata terukir secara tiba-tiba dari sebuah imajinasi yang nyata.

Yang saya pelajari dari seorang Zafran dan kisahnya;Sejelek-jeleknya orang tua kita, separah parahnya orang tua kita, dia tetap orang yang mesti kita hormati. Karna tanpa mereka kita bukan siapa-siapa dan tidak akan jadi apa-apa. Walaupun mereka sosok orang yang galak, pemarah, cerewet, bahkan keras kepala, di satu sisi dia tetap sayang sama anaknya, yang berbeda itu hanya cara mereka menyayangi kita.
 Baca juga cerita dan berita lainnya;
Ok lah semua, terima kasih banyak atas kunjungan di CERITA IBNU kali ini. Ikuti terus cerita-cerita terupdate-nya. Dan apresiasi penulis dengan share atau komentar yang positif  dari Anda di bawah sana. See you...



No comments:

Post a Comment